Kantor

Jl. Kendal No.1 10, RT.10/RW.6, Dukuh Atas, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310

Potret Buram “Pahlawan Devisa” NTT, Mengais Asa di Negeri Orang Namun Pulang Tak Bernyawa

Jakarta – Potret buram pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menjadi sorotan publik. Realitas yang dimiliki ini terus berulang, seolah-olah tanpa solusi pasti.

Para “pahlawan devisa” yang berjuang di negeri orang justru kerap pulang dalam kondisi tak bernyawa. Pertanyaannya, sampai kapan tragedi ini akan terus berlangsung?

Beberapa waktu lalu, Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT, Suratmi Hamida, mengungkapkan bahwa hingga April 2025, tercatat sebanyak 49 pekerja migran asal NTT telah dilaporkan dalam keadaan meninggal dunia. Angka ini bukan hanya statistik, tapi cermin dari luka sosial yang mendalam.

Dari jumlah tersebut, Kabupaten Ende mencatat angka kematian tertinggi, yakni 11 orang. Disusul Kabupaten Malaka sebanyak sembilan orang, dan Kabupaten Flores Timur delapan orang. Jumlah ini mencerminkan permasalahan serius yang menimpa masyarakat NTT, terutama mereka yang mencari penghidupan di luar negeri.

Ironisnya, sebagian besar pekerja migran yang meninggal merupakan pekerja nonprosedural alias ilegal. Mereka nekat berangkat tanpa dokumen resmi karena desakan ekonomi dan minimnya edukasi. Fenomena ini menunjukkan masih lemahnya sistem pelindungan terhadap warga yang mencari nafkah di luar negeri.

Baca Juga  Yayasan Felix Maria Go-Fransiscus Go Beri Dukungan Penuh Pasar Kreatif Anak NTT di Kupang

Pemerhati masyarakat, Ir. Fransiscus Go, SH, angkat suara mengenai tragedi kemanusiaan ini. Frans Go menyebut bahwa persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

“TTPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) harus ditumpas sampai ke akarnya,” tegas Frans Go.

Menurutnya, kematian 49 pekerja migran asal NTT merupakan bukti nyata kegagalan sistem dalam anggota sindikat perdagangan orang. Ia menilai, lemahnya pengawasan dan masih maraknya praktik pengiriman ilegal menjadi akar permasalahan yang perlu diselesaikan secara sistematis.

Frans Go juga anggotakan berbagai modus penipuan yang digunakan oleh pelaku. Korban menjanjikan pekerjaan resmi, namun kemudian dipaksa bekerja secara ilegal, bahkan menjadi korban kekerasan atau perdagangan manusia. Tak sedikit dari mereka yang menjadi budak scamming atau meninggal secara mengenaskan di negara tujuan.

Baca Juga  Kardinal Robert Francis Prevost Terpilih Sebagai Paus Umat Katholik, Fransiscus Go Ucapkan Selamat

Ia menekankan pentingnya langkah konkret dari pemerintah. Selain penindakan tegas terhadap pelaku dan jaringan internasional, diperlukan juga edukasi bahaya TPPO hingga ke desa-desa. “Sosialisasi harus gencar dilakukan, terutama di wilayah-wilayah rawan seperti NTT,” ujarnya.

Frans Go juga menyoroti perlunya kerja sama antarnegara untuk berkumpul secara real-time terhadap kondisi pekerja migran. Ia berharap tak ada lagi korban akibat jiwa pembiaran dan minimnya pengawasan. “Ini darurat kemanusiaan. Setiap korban adalah bagian dari keluarga yang hancur karena kelalaian sistem,” tegasnya.

Sebagai bentuk kepedulian, Frans Go mendirikan Komunitas BAJAGA atau “Baku Jaga”, yang fokus pada pemberantasan TPPO di NTT. Berkantor pusat di Jakarta, komunitas ini aktif menyuarakan advokasi, pelatihan, serta perlindungan hukum bagi para calon pekerja migran. Semangat mereka hanya satu: tak ingin ada lagi nyawa melayang karena keputusasaan dan ketidaktahuan.